Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabaraakatuh
Alhamdulillah saya masih bisa diberikan kesempatan kembali untuk mengisi blog ini,
puji syukur saya panjatkan kepada Allah Swt. atas rahmat, rezeki dan berkahnya..
baiklah, untuk kali ini.. saya akan membahas materi mengenai Al-Qur'an, Hadis, dan Ijtihad.
yukk kita bahas...
A.
Memahami Al-Qurān, Hadis, dan Ijtihād sebagai Sumber Hukum
Islam Sumber hukum Islam
merupakan
suatu rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam.
Ia menjadi pokok ajaran Islam sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau
berpatokan kepadanya. Ia menjadi pangkal dan tempat kembalinya segala sesuatu.
Ia juga menjadi pusat tempat
mengalirnya
sesuatu. Oleh karena itu, sebagai sumber
yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat dinamis, benar, dan
mutlak. Dinamis maksudnya adalah al-Qur’ān dapat berlaku di mana saja, kapan
saja, dan kepada siapa saja. Benar artinya al-Qur’ān mengandung kebenaran yang
dibuktikan dengan fakta dan kejadian yang yang sebenarnya. Mutlak artinya
al-Qur’ān tidak diragukan lagi kebenarannya serta tidak akan terbantahkan.
Adapun yang menjadi sumber hukum Islam yaitu: al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihād.
Al-Qur’ānul Karim
1. Pengertian al-Qur’ān
Dari segi bahasa, al-Qur’ān berasal
dari kata qara’a – yaqra’u – qirā’atan – qur’ānan, yang berarti sesuatu yang
dibaca atau bacaan. Dari segi istilah, al-Qur’ān adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. dalam bahasa Arab, yang sampai kepada kita secara mutawattir,
ditulis dalam mus¥af, dimulai dengan surah al-Fātihah dan diakhiri dengan surah
an-Nās, membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad
saw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Sungguh, al-Qur’ān ini memberi petunjuk ke
(jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang
mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (Q.S.
al-Isrā/17:9)
2.
Kedudukan al-Qur’ān sebagai Sumber Hukum Islam Sebagai sumber hukum Islam,
al-Qur’ān memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Ia merupakan sumber utama dan
pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal
ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’ān:
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt.
(al-Qur’ān) dan Rasu-Nyal (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (Q.S. an-Nisā’/4:59)
Dalam
ayat yang lain Allah Swt. menyatakan:
Artinya:
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’ān) kepadamu (Muhammad) membawa
kebenaran, agar engkau mengadili antara
manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau
menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang
berkhianat.” (Q.S. an-Nisā’/4:105) Dalam sebuah hadis yang bersumber dari Imam
Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda:
Artinya:
“... Amma ba’du wahai sekalian manusia, bukankah aku sebagaimana manusia biasa
yang diangkat menjadi rasul dan saya tinggalkan bagi kalian semua dua perkara
utama/besar, yang pertama adalah kitab Allah yang di dalamnya terdapat petunjuk
dan cahaya/penerang, maka ikutilah kitab Allah (al-Qur’an) dan berpegang
teguhlah kepadanya ... (H.R. Muslim) Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas,
jelaslah bahwa al-Qur’ān adalah kitab yang berisi sebagai petunjuk dan
peringatan bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’ān sumber dari segala sumber
hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun
demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’ān ada yang
bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan
perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.
3.
Kandungan Hukum dalam al-Qur’ān
Para ulama mengelompokkan hukum yang terdapat dalam al-Qur’ān ke dalam
tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a.Akidah atau Keimanan Akidah atau keimanan
adalah keyakinan yang tertancap kuat di dalam hati. Akidah terkait dengan
keimanan terhadap hal-hal yang gaib yang terangkum dalam rukun iman (arkānu
³mān), yaitu iman kepada Allah Swt. malaikat, kitab suci, para rasul, hari
kiamat, dan qada/qadar Allah Swt.
b.
Syari’ah
atau Ibadah Hukum ini mengatur tentang tata cara ibadah baik yang berhubungan
langsung dengan al-Khāliq (Pencipta) yaitu Allah Swt. yang disebut dengan
‘ibadah ma¥«ah, maupun yang berhubungan dengan sesama makhluknya yang disebut
dengan ibadah gairu ma¥«ah. Ilmu yang mempelajari tata cara ibadah dinamakan
ilmu fikih.
-1) Hukum Ibadah Hukum
ini mengatur bagaimana seharusnya melaksanakan ibadah yang sesuai dengan ajaran
Islam. Hukum ini mengandung perintah untuk mengerjakan śalat, haji, zakat,
puasa dan lain sebagainya.
-2) Hukum Mu’amalah Hukum
ini mengatur interaksi antara manusia dengan sesamanya, seperti hukum tentang
tata cara jual-beli, hukum pidana, hukum perdata, hukum warisan, pernikahan,
politik, dan lain sebagainya.
c. Akhlak atau Budi Pekerti Selain
berisi hukum-hukum tentang akidah dan ibadah, al-Qur’ān juga berisi hukum-hukum
tentang akhlak. Al-Qur’ān menuntun bagaimana seharusnya manusia berakhlak atau
berperilaku, baik akhlak kepada Allah Swt., kepada sesama manusia, dan akhlak
terhadap makhluk Allah Swt. yang lain. Pendeknya, akhlak adalah tuntunan dalam
hubungan antara manusia dengan Allah Swt.– hubungan manusia dengan manusia –
dan hubungan manusia dengan alam semesta. Hukum ini tecermin dalam konsep
perbuatan manusia yang tampak, mulai dari gerakan mulut (ucapan), tangan, dan
kaki. Hadis atau Sunnah
1.
Pengertian Hadis atau Sunnah Secara bahasa hadis berarti perkataan atau ucapan. Menurut
istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis
juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis
dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan
sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi
sumber hukum Islam. Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw.
terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian
hadis tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
a. Sanad, yaitu
sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw.
sampai kepada kita sekarang.
b. Matan, yaitu
isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw. c. Rawi, adalah orang
yang meriwayatkan hadis.
2.
Kedudukan Hadis atau Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam Sebagai sumber hukum Islam,
hadis berada satu tingkat di bawah alQur’ān. Artinya, jika sebuah perkara
hukumnya tidak terdapat di dalam alQur’ān, yang harus dijadikan sandaran
berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya :
“... dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa
yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-¦asyr/59:7)
Demikian
pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:
Artinya:
“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah
Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak
mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisā’/4:80)
Nah, kamu sudah paham, bukan, tentang peran penting hadis sebagai sumber hukum
Islam kedua setelah al-Qur’ān? Sekarang mari kita lihat kedudukan hadis
terhadap sumber hukum Islam pertama yaitu al-Qur’ān.
3. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’ān Rasulullah
saw.
sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan
Allah Swt. melalui al-Qur’ān kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis
berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat
dalam al-Qur’ān. Fungsi hadis terhadap al-Qur’ān dapat dikelompokkan sebagai
berikut.
a. Menjelaskan ayat-ayat al-Qur’ān yang masih
bersifat umum
Contohnya adalah ayat al-Qur’ān yang memerintahkan śalat. Perintah śalat dalam
al-Qur’ān masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah
saw. tentang śalat, baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan
raka’at-nya. Untuk menjelaskan perintah śalat tersebut misalnya keluarlah
sebuah hadis yang berbunyi, “Śalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
śalat”. (H.R. Bukhari)
b. Memperkuat pernyataan yang ada dalam
al-Qur’ān
Seperti dalam al-Qur’ān terdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara
kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Maka ayat tersebut diperkuat oleh
sebuah hadis yang berbunyi, “... berpuasalah karena melihat bulan dan
berbukalah karena melihatnya ...” (H.R. Bukhari dan Muslim)
c. Menerangkan maksud dan tujuan ayat Misal,
dalam Q.S. at-Taubah/9:34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan
perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah
mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi,
“Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu
yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)
d. Menetapkan hukum baru yang
tidak terdapat dalam al-Qur’ān Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak
terdapat hukumnya dalam al-Qur’ān, diambil dari hadis yang sesuai. Misalnya,
bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya.
Maka hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw :
Artinya:
“Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang
mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya
serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)
4.
Macam-Macam Hadis Ditinjau dari segi perawinya, hadis
terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu seperti berikut.
a.
Hadis Mutawattir Hadis mutawattir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
banyak perawi, baik dari kalangan para sahabat maupun generasi sesudahnya dan
dipastikan di antara mereka tidak bersepakat dusta. Contohnya adalah hadis yang
berbunyi:
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa berdusta
atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya adalah neraka.” (H.R. Bukhari,
Muslim)
b. Hadis
Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang sahabat atau lebih
yang tidak mencapai derajat mutawattir namun setelah itu tersebar dan
diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’³n sehingga tidak mungkin bersepakat
dusta. Contoh hadis jenis ini adalah hadis yang artinya, “Orang Islam adalah
orang-orang yang tidak mengganggu orang lain dengan lidah dan tangannya.” (H.R.
Bukhari, Muslim dan Tirmizi)
c. Hadis ayat Hadis
ayat adalah hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi
sehingga tidak mencapai derajat mutawattir. Dilihat dari segi kualitas orang
yang meriwayatkannya (perawi), hadis dibagi ke dalam tiga bagian berikut.
1) Hadis Śa¥i¥ adalah
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kuat hafalannya, tajam
penelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw., tidak tercela, dan
tidak bertentangan dengan riwayat orang yang lebih terpercaya. Hadis ini
dijadikan sebagai sumber hukum dalam beribadah (hujjah).
2) Hadis ¦asan, adalah
hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang kuat hafalannya,
sanadnya bersambung, tidak cacat, dan tidak bertentangan. Sama seperti hadis
śa¥i¥, hadis ini dijadikan sebagai landasan mengerjakan amal ibadah.
3) Hadis ¬a’³f, yaitu
hadis yang tidak memenuhi kualitas hadis śa¥i¥ dan hadis ¥asan. Para ulama
mengatakan bahwa hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah, tetapi dapat
dijadikan sebagai motivasi dalam beribadah.
4) Hadis Mau«u’, yaitu
hadis yang bukan bersumber kepada Rasulullah saw. atau hadis palsu. Dikatakan
hadis padahal sama sekali bukan hadis. Hadis ini jelas tidak dapat dijadikan
landasan hukum, hadis ini tertolak. Ijtihād sebagai upaya memahami al-Qur’ān dan
Hadis
IJTIHAD SEBAGAI UPAYA
MEMAHAMI AL-QUR’AN & HADIS
1. PENGERTIAN IJTIHAD
Kata ijtihad berasal bahasa Arab
ijtihada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan segala
kemampuan,bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga , atau bekerja secara optimal.
Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan fikiran secara
sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihad
dinamakan mujtahid.
2. SYARAT-SYARAT BERIJTIHAD
Karena ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan
keahlian para mujtahid,dimungkinkan hasil ijtihad
antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya.
Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan
hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat
yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihad.
a.
Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
b.
Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab,
ilmu tafsir, usul fikih dan tarkh(sejarah).
c.
Memahami cara merumuskan hukum(istinbat).
d.
Memiliki keluruhan akhlak mulia.
3. KEDUDUKKAN IJTIHAD
Ijtihad
memiliki kedudukkan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan hadis.
Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan Al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw :
“Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’ān).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihādu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami) |
Rasulullah
saw juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihad sesuai dengan kemampuannya
dan ilmunya, kemudia ijtihadnya benar, maka ia mendapat 2 pahala, dan jika
kemudian ijtihadnya itu salah maka ia mendapatkan 1 pahala.
“Dari Amr bin Aś, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihād dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihādnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihād, kemudian ijtihādnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
4. BENTUK-BENTUK
IJTIHAD
a. ijma’
ijma’ adalah
kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau hukum.
Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu ilahi
yang berbentuk lembaran-lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-qur’an yang
seperti kita saksikan sekarang ini.
b. Qiyas
qiyas adalah
mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam
al-qur’an/hadist dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’an dan hadis
karena kesamaan sifat atau karakternya. Contohnya adalah mengharamkan hukum
minuman keras selain khamr seperti brendy, wisky, topi miring, vodka dan
narkoba. Karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamr, yaitu
memabukkan.
Khamr dalam
al-Qur’an diharamkan, sebagaimana firman Allah
Swt.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras,
berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah,
adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
(perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)
c. Maslahah mursalah yaitu penetapan
hukum yang menitikberatkan pada kemananfaatan suatu perbuatan dan tujuan
hakiki-universal terhadap syari’at islam. Misalkan seseorang wajib mengganti
atau membayar kerugian atas kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di
luar kesepakatan yang telah ditetapkan.
Pembagian
Hukum Islam
Para ulama
membagikan hukum islam dalam 2 bagian
yaitu:
- Hukum taklifi (tuntutan Allah Swt. yang berkaitan dengan
perintah dan larangan)
- Hukum wad’i ( perintah Allah Swt. yang merupkan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu.)
Hukum taklifi
terbagi menjadi 5 bagian:
1.
Wajib (fardu)
Yaitu aturan
Allah Swt. yang harus dikerjakan, dengan konsekuensi bahwa jika dikerjakan akan
mendapat pahala, dan jika ditinggalkan akan berakibat dosa.
2.
Sunnah (mandub)
Yaitu
tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan dengan konsekuensi jika dikerjakan
akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan karena berat untuk melakukannya
tidaklah berdosa.
3.
Haram (tahrim)
Yaitu larangan
untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau perbuatan. Konsekuensinya adalah jika
larangan tersebut dilakukan akan mendapatkan pahala, dan jika tetap dilakukan,
akan mendapat dosa dan hukuman.
4.
Makruh (karahah)
yaitu
tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Makruh artinya sesuatu yang
dibenci atau tidak disukai. Konsekuensi hukum ini adalah jika dikerjakan
tidaklah berdosa, akan tetapi jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
5.
Mubah (al-ibahah)
yaitu sesuatu
yang boleh untuk dikerjakan dan boleh untuk ditinggalkan. Tidaklah berdosa dan
berpahala jika dikerjakan ataupun ditinggalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar